Pendekatan Interaksionisme
Simbolis
Inti
pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini
mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep
sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung
ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam
perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles
Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara
individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut
berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi
tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik
kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer
(1962) dan Erving Goffman (1959). Seperti
yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa
interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang
bersifat sosial- psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan
sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur- struktur sosial,
bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang
bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat
interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial.
Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap
diletakkan menjadi latar belakang.
Baik
manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih
tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif
sosiologis yang konvensional.Di sisi ini masyarakat tersusun dari
individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga
menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah
sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang
selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya. Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis
“di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada
hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki
pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis,
namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan
aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat
simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.
Makna-makna
itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan
persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses
interaksi. Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982) salah satu
arsitek utama dari interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi
simbolik’ tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang
berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia
menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’tindakan satu sama lain dan tidak
semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia
dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan
makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses
interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.Pendekatan
interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif
dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Pendekatan
interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan
bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup
unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu
tersebut adalah virtual.
Semua
interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita
berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk”
mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai
bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain.
Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi
antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang
orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebaga individu. Gagasan Teori Interaksionisme Simbolik Istilah paham interaksi menjadi sebuah
label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan
kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan yang telah
menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi intelektualnya, di
antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I Thomas, Robert E.Park, William
James, Charles Horton Cooley, Florian Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert
Redfield dan Louis Wirth. Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu
cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self)
dan dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self.
Dengan
mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami
fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama
dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan
makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna
tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut
berlangsung.Menurut KJ Veeger yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori
interaksionisme simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah
mengenai Konsep Diri.
Di
sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di bawah
pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari organisme yang
sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian gagasan Konsep Perbuatan
dimana perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan
dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama sekali berlainan dengan
perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk manusia. Kemudian Konsep Obyek di
mana manusia diniscayakan hidup di tengah-tengah obyek yang ada,yakni
manusia-manusia lainnya.
Selanjutnya
Konsep Interaksi Sosial di mana di sini proses pengambilan peran sangatlah
penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint Action di mana di sini aksi kolektif
yang lahir atas perbuatan-perbuatan masing-masing individu yang disesuaikan
satu sama lain.Menurut Soeprapto (2001), hanya sedikit ahli yang menilai bahwa
ada yang salah dalam dasar pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah
semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti”
dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang
bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’ adalah
hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu psikologi sosial
saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah sebaliknya, bahwa arti
yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia
itu sendiri.
Dari
sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori
lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu
pada sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa
“arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari
sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap
terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang “arti”sebagai
produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang
terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi.
Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi yang sangat
jelas, dengan implikasi yang cukup dalam. Tokoh-tokoh Teori Interaksionisme
Simbolik. Mengikuti penjelasan Abraham (1982), Charles Horton Cooley adalah
tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri atas
dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari kehidupan sosial,
yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan sebuah evolusi
organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat demokratis, moral, dan
progresif. Konsep evolusi organik-nya Cooley berbeda secara hakiki dari
konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial abad kesembilanbelas.
Sementara
para pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada aspek-aspek kolektif yang
berskala-besar dari pembangunan, dari perjuangankelas, dari lembaga sosial dan
sebagainya, di sini Cooley berusaha mendapatkan sebuah pemehaman yang lebih
mendalam mengenai individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari
masyarakat, namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari
bahan-bahan penyusun masyarakat.“Kehidupan kita adalah satu satu kehidupan
manusia secara keseluruhan,” kata Cooley, “dan jika kita ingin memiliki
pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang individu
secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka proses pengetahuan
kita atas diri individu akan gagal.” Jadi,
evolusi organik adalah interplay yang kreatif baik individu maupun masyarakat
sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang saling menegaskan dan
beriringan meski tetap masih bisa dibedakan. ”Masyarakat adalah sebuah proses
saling berjalinnya dan saling bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental
selves). Saya membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang
Anda pikirkan tentang apa yang saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya
pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan.”
Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental
dari sosiologi ialah untuk memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana
dia berlangsung melalui persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari
diri mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus
mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari
individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut. “Imajinasi yang saling
dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat…
Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang bersifat personal.”Dalam
konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang Seperti Cermin Pantul), menurut
Cooley, institusi-institusi sosial yang utama ialah bahasa, keluarga, industri,
pendidikan,agama, dan hukum. Sementara institusi-institusi tersebut membentuk
‘fakta-fakta dari masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis,
mereka juga merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran
publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil dari
organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk bentuk-bentuk adat-adat
kebiasaan, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen
perasaan yang tahan lama.
Oleh
karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan kreasi-kreasi mental dari
individu-individu dan dipelihara melalui kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari
pikiran yang hampir selalu dilakukan secara tidak sadar karena sifat
kedekatannya dengan diri kita (familiarity). Seperti yang ditegaskan oleh
Cooley, ketika institusi-institusi masyarakat dipahami terutama sebagai
kreasi-kreasi mental, maka individu bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur
sosial, namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial
tersebut.
Intinya,
Cooley mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan analitiknya terhadap perkembangan
dari diktum fundamentalnya, yaitu “Imajinasi-imajinasi yang saling dimiliki
oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat.” Dalam
bukunya yang pertama, Human Nature and the Social Order, dia terfokus pada
teori mengenai diri-yang-bersifat-sosial (social-self), yakni makna
“Aku”sebagaimana yang teramati dalam pikiran dan perbincangan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Riyadi Soeprapto.2001. Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern.
Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar.
Horton, Paul B dan Chester L. Hunt.
1984. Sociology. Jakarta: Penerbit Erlangga.
KJ Veeger. 1985. Realitas Sosial,
Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu –
Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia. Hlm 224 – 226.
Ryadi Soeprapto,. 2000. Interaksionisme
Simbolik,Perspektiof Sosiologi Modern. Malang: Averroes Press dan Pustaka
Pelajar.
Etika menuntut
ilmu
Menuntut ilmu adalah satu keharusan
bagi kita kaum muslimin. Banyak sekali dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu,
para penuntut ilmu dan yang mengajarkannya.
Adab-adab dalam menuntut ilmu yang
harus kita ketahui agar ilmu yang kita tuntut berfaidah bagi kita dan orang
yang ada di sekitar kita sangatlah banyak. Adab-adab tersebut di antaranya
adalah :
1. Ikhlas karena Allah
Subhanahu Wa Ta’ala
Hendaknya niat kita dalam menuntut
ilmu adalah karena Allah Azza Wa Jalla dan untuk negeri akhirat.
Apabila seseorang menuntut ilmu hanya untuk mendapatkan gelar agar bisa
mendapatkan kedudukan yang tinggi atau ingin menjadi orang yang terpandang
atau niat yang sejenisnya, maka Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam
telah memberi peringatan tentang hal ini dalam sabdanya :
“Barangsiapa
yang mempelajari suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, tidaklah ia
mempelajarinya melainkan untuk memperoleh harta dunia, dia takkan mendapatkan
harumnya bau surga di hari kiamat.”
[Dekeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan]
Tetapi kalau ada orang yang
mengatakan bahwa saya ingin mendapatkan syahadah (MA atau Doktor, misalnya)
bukan karena ingin mendapatkan dunia, tetapi karena sudah menjadi peraturan
yang tidak tertulis kalau seseorang yang memiliki pendidikan yang lebih
tinggi, segala ucapannya menjadi lebih didengarkan orang dalam menyampaikan
ilmu atau dalam mengajar. Niat ini - insya Allah - termasuk niat yang benar.
2. Untuk menghilangkan
kebodohan dari dirinya dan orang lain.
Semua manusia pada mulanya adalah
bodoh. Kita berniat untuk menghilangkan kebodohan dari diri kita, setelah
kita menjadi orang yang memiliki ilmu kita harus mengajarkannya kepada orang
lain untuk menghilang kebodohan dari diri mereka, dan tentu saja mengajarkan
kepada orang lain itu dengan berbagai cara agar orang lain dapat mengambil
faidah dari ilmu kita.
Apakah disyaratkan untuk memberi
manfaat pada orang lain itu kita duduk dimasjid dan mengadakan satu pengajian
ataukah kita memberi manfa’at pada orang lain dengan ilmu itu pada setiap
saat? Jawaban yang benar adalah yang kedua; karena Rasulullah Sholallahu
Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sampaikanlah
dariku walaupun cuma satu ayat
(HR: Bukhari)
Imam Ahmad berkata: Ilmu itu tidak ada bandingannya apabila niatnya benar.
Para muridnya bertanya: Bagaimanakah yang demikian itu? Beliau menjawab: ia
berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.
3. Berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syari’at.
Sudah menjadi keharusan bagi para
penuntut ilmu berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syari’at. Karena
kedudukan syari’at sama dengan pedang kalau tidak ada seseorang yang
menggunakannya ia tidak berarti apa-apa. Penuntut ilmu harus membela agamanya
dari hal-hal yang menyimpang dari agama (bid’ah), sebagaimana tuntunan yang
diajarkan Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam. Hal ini tidak ada
yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki ilmu yang benar, sesuai
petunjuk Al-Qor’an dan As-Sunnah.
4. Lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat.
Apabila ada perbedaan pendapat,
hendaknya penuntut ilmu menerima perbedaan itu dengan lapang dada selama
perbedaan itu pada persoalaan ijtihad, bukan persoalaan aqidah, karena
persoalan aqidah adalah masalah yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
salaf 1). Berbeda dalam
masalah ijtihad, perbedaan pendapat telah ada sejak zaman shahabat, bahkan
pada masa Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam masih hidup. Karena
itu jangan sampai kita menghina atau menjelekkan orang lain yang kebetulan
berbeda pandapat dengan kita.
5. Mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Termasuk adab yang tepenting bagi
para penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, karena amal
adalah buah dari ilmu, baik itu aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah.
Karena orang yang telah memiliki ilmu adalah seperti orang memiliki senjata.
Ilmu atau senjata (pedang) tidak akan ada gunanya kecuali diamalkan
(digunakan).
6. Menghormati para ulama dan memuliakan mereka.
Penuntut ilmu harus selalu lapang
dada dalam menerima perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Jangan
sampai ia mengumpat atau mencela ulama yang kebetulan keliru di dalam
memutuskan suatu masalah. Mengumpat orang biasa saja sudah termasuk dosa
besar apalagi kalau orang itu adalah seorang ulama.
7. Mencari kebenaran dan sabar
Termasuk adab yang paling penting
bagi kita sebagai seorang penuntut ilmu adalah mencari kebenaran dari ilmu
yang telah didapatkan. Mencari kebenaran dari berita berita yang sampai
kepada kita yang menjadi sumber hukum. Ketika sampai kepada kita sebuah
hadits misalnya, kita harus meneliti lebih dahulu tentang keshahihan hadits
tersebut. Kalau sudah kita temukan bukti bahwa hadits itu adalah shahih, kita
berusaha lagi mencari makna (pengertian ) dari hadits tersebut. Dalam mencari
kebenaran ini kita harus sabar, jangan tergesa-gasa, jangan cepat merasa
bosan atau keluh kesah. Jangan sampai kita mempelajari satu pelajaran
setengah-setengah, belajar satu kitab sebentar lalu ganti lagi dengan kitab
yang lain. Kalau seperti itu kita tidak akan mendapatkan apa dari yang kita
tuntut.
Di samping itu, mencari kebenaran
dalam ilmu sangat penting karena sesungguhnya pembawa berita terkadang punya
maksud yang tidak benar, atau barangkali dia tidak bermaksud jahat namun dia
keliru dalam memahami sebuah dalil.Wallahu ‘Alam.
———-
1) Pendapat ini perlu ditinjau lebih
lanjut karena telah ada perbedaan pendapat tentang masalah “Apakah Allah
dapat di lihat didunia? ” dan ini adalah masalah Aqidah, dan beberapa
perbedaan pendapat lain.
—————————
Dikutip dari ” Kitabul ilmi” Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
(Abu Luthfi) http://van.9f.com/adab_menuntut_ilmu.htm
|
|
Etika
TA’LIMUL MUTA’ALLIM (Etika Menuntut Ilmu)
A. Menuntut Ilmu
- Pengertian Ilmu
Ilmu secara bahasa mempunyai arti
mengetahui. Sedangkan secara istilah adalah pengetahuan tentang suatu hal yang
dikaji secara sistematis logis yang dibakukan menjadi pengetahuan tertentu.
Suatu missal ilmu agama, ilmu matematika dan sebagainya. Secara bahasa, orang
yang berilmu menunjukkan ia banyak tahu tentang suatu hal. Makna ilmu disini
tidak hanya ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah, tapi mempunyai makna
yang lebih luas lagi, yaitu ilmu yang dapat memberikan pengetahuan luas
sehingga menjadikan orang tersebut lebih bijak, sempurna pola fikirnya dan sejahtera
lahir dan batin.
Mencari ilmu tidak dibatasi pada bidang
tertentu dan jangka waktu. Lebih lama menuntut ilmu lebih banyak pula ilmu yang
dimiliki dan banyaknya ilmu akan menunjukkan kesempurnaan orang tersebut.
2. Kewajiban Menuntut Ilmu
Ilmu mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kehidupan ini. Berkembangnya zaman ini tidak lain karena ilmu,
negara yang menguasai ilmu pengetahuan akan menjadi negara yang maju. Sehingga
ada istilah; “Orang tanpa ilmu pengetahuan bagaikan mayat berjalan”
Dalam Islampun menekankan pentingnya
ilmu, dan menjadi hokum wajib menuntut ilmu. Sabda Rasulullah SAW: “Menuntut
ilmu diwajibkan bagi orang Islam laki-laki dan perempuan.”
Menuntut ilmu hukumnya wajib. Hokum
wajib akan membawa konsekuensi buruk bagi mereka yang meninggalkannya.
Keburukan ini bisa didapat di dunia, lebih-lebih lagi di akhirat.
Kalau kita perhatikan wahyu yang
pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah Al-Alaq ayat 1-5. Ayat
pertama yang disampaikan Allah kepada nabinya, Iqra’ yang artinya bacalah.
Membaca adalah sumber utama menggali ilmu pengetahuan. Jadi ini menunjukkkan
perintah untuk menuntut ilmu.
Pada masa Rasulullah, sampai ia
memerintah mencari ke negeri kaumnya orang kafir. Hadits: “Tuntutlah ilmu
meskipun sampai ke negeri Cina, karena menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap
muslim.”
Hadits di atas mengisyarakatkan betapa
pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan inilah yang hanya
mengantarkan manusia bahagia dunia dan akhirat. Sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa ingin (memperoleh kebahagiaan) di dunia, hendaklah ia berilmu. Dan
barangsiapa ingin (memperoleh kebahagiaan) di akhirat, hendaklah ia berilmu.
Dan barangsiapa ingin memperoleh kebahagiaan keduanya, hendaklah ia berilmu.”
Tujuan menuntut ilmu dibagi dua:
fardhu’ain dan fardhu kifayah. Ketahuilah, bahwa kewajiban setiap muslim
bukanlah menuntut segala macam ilmu. Tetapi yang wajib baginya adalah menuntut
ilmu haal (ilmu yang menyangkut kewajiban sehari-hari sebagai muslim seperti
ilmu tauhid, akhlak, dan fikih) sebagaimana diterangkan dalam hadits: “Ilmu
yang paling utama adalah ilmu haal dan amal yang paling utama adalah menjaga
haal (hal-hal yang merupakan kewajiban sehari-hari seperti menghindari
penyia-nyiakan harta dan kerusakan).”
Diwajibkan bagi setiap muslim mempelajari
ilmu yang berhubungan dengan kewajiban sehari-hari dalam kondisi apapun. Karena
ia wajib menjalankan salat, maka wajib baginya mempelajari ilmu yang dibutuhkan
di dalam salatnya sesuai dengan batasan, agar ia dapat menunaikan kewajiban itu
secara sempurna.
Demikian juga wajib baginya mempelajari
ilmu yang mengantarkannya (ilmu yang menjadi prasyarat) menunaikan segala
sesuau yang menjadi kewajibannya. Karena segala sesuatu yang menjadi prasyarat
bagi sesuatu yang wajib itu hukumnya menjadi wajib pula. Wajib pula mempelajari
ilmu tentang puasa; zakat bila ia berharta dan haji bila sudah wajib baginya,
begitu pula ilmu mengenai jual-beli bila ia berdagang.
Demikian pula wajib mempelajari
ilmu-ilmu mengenai aturan-aturan yang berhubungan dengan orang lain dan
berbagai pekerjaan. Setiap orang terjun pada salah satu dari urusan-urusan
tersebut harus mempelajari ilmu yang menghindarkannya dari perbuatan haram di
dalamnya.
Setiap muslim juga wajib mempelajari
ilmu mengenai hal-hal yang berhubungan dengan hati, seperti tawakkal (pasrah
kepada Allah), kembali kepada Allah (inabah atau tobah) takut (kepada murka
Allah) dan ridha. Semua itu selalu dibutuhkan dalam kondisi apapun.
Ilmu yang hokum fardhu kifayah adalah
ilmu yang diperlukan pada saat-saat tertentu saja. Bila di suatau daerah ada
seseorang yang melakukanna, maka kewajiban itu gugur bagi yang lain, namun
apabila tidak seorang pun yang melakukannya, maka semua orang bersama-sama
menanggung dosa. Adalah kewajiban para pemimpinnya menyuruh orang-orang untuk
menegakkan dan memaksa kepada penduduk setempat untuk menegakkannya.
Adapun ilmu nujum (meramal sesuatu
berdasarkan ilmu perbintangan) hukumnya haram, karena ilmu tersebut berbahaya
pada keyakinan seseorang dan tidak ada manfaatnya. Lari dari ketentuan dan
takdir Allah jelas tidak mungkin. Begitu pula ilmu-ilmu yang merugikan orang
lain bagi dari segi fisik maupun keyakinan seseorang.
2. Keutamaan Menuntut Ilmu
Keutamaan ilmu sudah tidak diragukan
lagi bagi siapapun, karena ilmu inilah yang membedakan manusia dengan mahluk
lainnya. Sebab potensi fisik (biologis) dan potensi insting/rasa juga dimiliki
oleh mahluk lainnya. Binatang mempunyai struktur biologis yang sama dengan
manusia, rasa marah, kekuatan, kasih sayang, mempertahankan diri juga dimiliki
oleh binatang. Satu hal yang tidak dimiliki oleh binatang adalah ilmu.
Dengan ilmu pula Allah memberikan
keunggulan kepada Nabi Adam AS atas para malaikat. Dan menyuruh mereka sujud
kepada Ada. Keutamaan ilmu hanya karena ia menjadi wasilah (pengantar) menuju
ketakwaan yang menyebabkan seseorang berhak mendapatkan kemuliaan di sisi Allah
dan kebahagiaan dunia.
Secara bahasa halus, Allah menanyakan
kepada manusia, samakah orang yang berpengetahuan dengan yang tidak:
“Katakanlah : Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berhak Allah yang dapat menerima
pelajaran.” (Az-Zumar: 9).
Selanjutnya, malah Allah mempertegas
posisi orang yang berilmu yaitu Allah akan mengangkat derajat orang yang
berilmu. “Niscaya Allah akan menegaskan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadalah: 11).
Rasulullah pun menegaskan keutamaan
orang yang berilmu:
“Barangsiapa keluar untuk menuntut
ilmu, maka ia berada di jalan Allah SWT sehingga kembali.”
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk
mencari ilmu, maka Allah SWT akan memudahkan baginya jalan ke surga.”
Dari firman Allah dan sabda Rasulullah
SAW, dapat diuraikan bahwa keutamaan orang yang berilmu adalah:
-
Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu baik di dunia lebih-lebih di
akhirat
-
Orang yang berilmu akan lebih mulia kehidupannya, karena segala sepak tanduknya
selalu dipertimbangkan baik buruknya
-
Orang yang sedang menuntut ilmu, berada di jalan Allah dan apabila ia meninggal
karena mencari ilmu ia mati syahid
-
Allah akan memberikan kemudahan jalan ke surga.
B. Niat dalam menuntut ilmu
Di dalam kamus bahasa Indonesia, niat
mempunyai arti berkehendak. Pengertian yang lebih luas mendalam lagi, niat
adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang tulus dan ikhlas dalam rangka
ingin mendapatkan sesuatu. Niat tidak hanya didasari keinginan melakukan sesuatu
semata, tetapi merupakan aktifitas jiwa yang mendalam. Ketika seseorang berniat
melakukan sesuatu, maka sebelum melakukannya sudah tertanam dalam ahtinya
kesungguhan dan keyakinan.
Orang yang mempunyai niat seperti yang
dimaksud di atas, ia tidak akan bombing dan goyah dalam melakukan sesuatu, dan
timbul semangat serta tidak pantang menyerah selagi tujuan tidak tercapai.
Sangat logis sekali Rasulullah mengatakan, seseorang akan meraih sesuatu sesuai
dengan niatnya. Sabda Rasulullah SAW: “sesungguhnya semua amal tergantung pada
niatnya dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya.”
Kaitannya dengan menuntut ilmu seorang
pelajar seharusnya sebelum berangkat ke sekolah, ia sudah tanamkan niat yang
kuat dan benar. Dari niat yang kuat dan benar, akan pengaruh pada kondisi jiwa
yaitu
-
Ada ketulusan dan keikhlasan dalam mencari ilmu, sehingga tidak mudah lelah dan
tidak gelisah
-
Adanya tujuan yang jelas, tidak akan mudah dipengaruhi teman lainnya untuk
melakukan sesuatu yang tidak berkaitan dengan keilmuan
-
Akan timbul semangat, karena orientasinya jelas
-
Orang yang diniati mencari ridha Allah akan mendapatkan 2 keuntungan yaitu;
kebaikan dunia dan kebaikan akhirat.
Oleh sebab itu, sebaiknya pelajar
berniat mencari ridha Allah SWT mengharap kebahagiaan akhirat, menghilangkan
kebodohan dari dirinya dan dari segenap orang-orang bodoh, menghidupkan agama
dan melestarikan Islam, karena sesungguhnya kelestarian Islam hanya dapat
dipertahankan dalam ilmu dan perilaku zuhud serta takwa tidak lah sah dengan
kebodohan.
Syekh Al Imam Al Ajjal Al Ustadz
Qopmaruddin Hammad Bin Ibrahim Bin Ismail Ash Shaffar Al Anshori memberikan
nasehat kepada kita lewat sebuah syairnya yang didiktekan oleh Imam Abu
Hanifah:
-
“Barangsiapa mencari ilmu untuk tujuan akhirat, maka beruntunglah ia dengan
keutamaan dari petunjuk Allah”
-
“Sungguh amat merugi orang yang mencari ilmu hanya untuk mendapatkan
keuntungan dari hamba Allah (manusia)”
Namun apabila seseorang mencari kedudukan
untuk dapat menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, menegakkan kebenaran
dan mengagungkan agama bukan untuk kepentingan hawa nafsu, maka hal itu
diperbolehkan sebatas kedudukan dimana ia sudah dapat menyerukan kebaikan dan
mencegah kemungkaran.
Setiap pencari ilmu hendaklah
memikirkan hal tersebut. Ia sudah menuntut ilmu dengan perjuangan yang berat.
Jangan sampai ia memalingkannya pada tujuan duniawi yang hina, sedikit dan
binasa.
Sebuah syair mengatakan:
-
“Dunia itu sedikit dari yang sedikit dan seorang yang tenggelam di dalamnya
lebih hina dari orang hina”
-
Dunia dengan sihirnya membutakan dan menulikan orang sehingga mereka bingung
tanpa pegangan.”
C. Ketetapan dalam memilih ilmu,
guru, dan teman
- Memilih ilmu
Terbentuknya watak seseorang tidak
begitu saja terbentuk seperti watak orang dewasa. Pembentukan watak/karakter
memerlukan proses yang begitu lama, serta membutuhkan pendukung-pendukung
lainnya seperti lingkungan, pendidikan, keluarga, dan sebagainya.
Materi pendidikan (ilmu) sangat
mempengaruhi sekali baik buruknya watak seseorang. Ketika seseorang, dari kecil
sampai dewasa banyak dikenal pada materi pengetahuan dunia semata, maka
terbentuk watak orang yang materialitik-hedonestik, yang jauh dari nilai-nilai
agama.
Jadi seharusnya ada skala prioritas
dalam mendahulukan menuntut ilmu. Ilmu yang lebih awal dikuasai adalah ilmu
yang digunakan saat ini dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya shalat, membaca
AL-Quran, tata karma, dll. Maka ilmu yang seharusnya diutamakan adalah ilmu
tata cara shalat yang benar, ilmu membaca AL-Quran dan ilmu akhlak. Jika ilmu
ini semua dikuasai, baru menginjak pada ilmu yang kebutuhannya jangka panjang.
Di atas telah dijelakan bahwa menuntut
ilmu adalah wajib/fardhu. Tapi karena ada kebutuhan ilmu yang mendesak dipenuhi
dan ilmu yang kebutuhannya untuk jangka panjang . Sehingga kewajiban menuntut
ilmu dibagi dua, yaitu ilmu fardhu’ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu
fardhu’ain, kewajiban menuntut ilmu bagi tiap-tiap muslim karena berkaitan dengan
ibadah yang dilaksanakan setiap hari. Fardhu Kifayah, kewajiban menuntut ilmu
bagi segolongan masyarakat muslim karena ilmu ini penyempurna ibadah.
Contohnya, orang tidak bisa shalat dengan sempurna dan melaksanakan
rukun-rukunnya dengan baik, jika orang tersebut lagi sakit. Disinilah kewajiban
kifayah menuntut ilmu kedokteran dalam rangka menyehatkan orang untuk beribadah
dan seterusnya.
2. Memilih guru
“Guru kencing berdiri, murid kencing
berlari.”, pepatah ini perlu kita renungkan. Guru adalah sumber pengetahuan
bagi kita, khususnya bagi anak-anak. Memori otak anak masih bersih/kosong,
tatkala sang anak sering melihat perilaku guru jelek, berarti secara tidak
langsung maupun langsung guru tersebut telah mengisi memori otak anak dengan
perilaku salah/jelek. Lama-kelamaan terbentuklah pola fikir anak yang jelek,
bisa jadi anak yang demikian ini akan lebih buruk lagi perilakunya daripada
gurunya. Jadi sangat betul pepatah di atas.
-
“Dari ibnu Abbas, ia berkata: Ada orang bertanya: wahai Rasulullah, siapakah
teman-teman berkumpul kamu yang baik? Beliau bersabda: Orang yang dapat
mengingatkan kamu kepada Allah saat kamu melihatnya, pembicaraannya menambah
ilmu kamu dan perbuatannya mengingatkan kamu kepada hari akhirat” (HR. Abu
Ya’la)
-
“Wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shof: 2-3).
Dari kedua nash di atas, hendaklah guru
memiliki criteria sebagai berikut:
-
Apa yang guru sampaikan sesuai dengan perilakunya sehari-hari. Ia mengajarkan
kebaikan dan ia sendiri maupun mengamalkan apa yang ia sampaikan kepada
muridnya. Guru yang hanya pintar ngomong saja, pasti dibenci oleh Allah. Maukah
kalian diajari guru yang dibenci Allah. (Ash-Shof: 2-3).
-
Pembicaraannya menambah ilmu seorang guru jika berbicara selayaknya mengandung
pengetahuan (nasehat), baik ia berada di dalam kelas maupun di luar kelas.
Sudah tentu guru seperti ini mempunyai pengetahuan yang luas.
-
Akhlaknya sangat terpuji
-
Ucapannya penuh dengan ajakan untuk takut kepada Allah dan hari akhirat.
3. Memilih teman
Dalam mencapai tujuan, banyak faktor
yang mempengaruhinya tidak hanya pada kemampuan pribadi. Mencapai tujuan
belajarpun juga ada beberapa faktor yang mempengaruhi, di antaranya adalah
teman.
Di dalam memilih sahabat sebaiknya
pilihlah orang yang tekun, warak, bertabiat lurus serta tanggap. Hindarilah
orang yang malas, pengangguran, pembual, suka berbuat onar, dan suka memfitnah.
Inilah nasehat, yang dikemas dalam
bentuk syair untuk para pelajar yang mencari teman bermain atau belajar:
-
Janganlah kamu tanyakan mengenai jati diri seseorang, tetapi lihatlah siapa
temannya. Karena seseorang akan mengikuti perilaku temannya.
-
Bila teman orang jahat, maka hindarilah segera. Bila temannya adalah orang
baik, maka bersahabatlah dengannya, niscaya kamu akan mendapat petunjuk.
-
Janganlah kamu bersahabat dengan pemalas dalam segala perilakunya. Banyak orang
yang rusak karena ulah orang lain.
-
Begitu cepat pengaruh orang bodoh menjalar kepada orang yang pandai. Bagaikan
bara api yang diletakkan pada abu, maka padamulah ia.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap orang
dilahirkan dalam keadaan suci (Islam), kecuali kedua orang tuanya menjadikannya
Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Sebuah syair berbahasa Persia
mengungkapkan:
-
Teman yang buruk lebih berbahaya daripada ular berbisa. Demi Allah zat yang
maha benar dan maha suci
-
Teman yang buruk mengantarkan menuju neraka Jahim. Teman yang baik mengantarkan
menuju surge Na’im
-
Bila kamu ingin mendapat ilmu dari ahlinya atau ingin mengetahui dan
mengabarkan mengenai kebaikan
-
Maka renungkanlah bumi dengan nama-namanya dan renungkanlah (ambillah
pelajaran) dan sahabat (teman) mengenai dirinya.
D. Menghormati guru dan menghormati
ilmu serta memuliakan kitab
- Menghormati ilmu
Ketahuilah bahwa pelajar tidak akan
dapat meraih ilmu dan memanfaatkan ilmunya kecuali dengan menghormati ilmu dan
ahli ilmu serta menghormati dan mengagungkan gurunya.
Diungkapkan: “Orang yang ingin mencapai
sesuatu tidak akan berhasil kecuali dengan menghargai dan orang tidak akan
jatuh dalam kegagalan kecuali dengan meninggalkan respek (rasa hormat) dan
mengagungkan.
Diungkapkan lagi: “Rasa hormat lebih
baik daripada kepatuhan. Ingat, bahwa manusia tidak menjadi kafir (kepada
Allah) karena berbuat maksiat, tetapi ia kafir karena meninggalkan rasa hormat
(kepada-Nya).”
2. Menghormati guru
Salah satu cara menghormati ilmu adalah
menghormati guru. Sayyidina Ali ra. Mengatakan: “Aku adalah hamba sahaya bagi
orang yang mengajarku, walaupun saru huruf saja. Bila ia bermaksud
memerdekakanku, maka ia bisa memerdekaknku dan bila ia bermaksud memperbudakku
maka ia bisa memperbudakku.”
Dalam hal ini pernah didendangkan
sebuah syair untukku:
-
Menurutku hak paling utama adalah hak guru, dan hak itu wajib dijaga bagi
setiap muslim
-
Sungguh ia berhak diberi kemuliaan. Setiap ia mengajar satu huruf tak cukup
memberinya seribu uang dirham.
Sesungguhnya orang yang
mengajarimu satu huruf yang kamu butuhkan dalam urusan dan agamamu, maka ia
merupakan ayahmu dalam kehidupan agamamu. Guru kami Syekh Al Imam Sadiduddin
Asy Syairazi berkata: “Guru-guru kami mengatakan: barangsiapa mengharap anaknya
menjadi orang alim, hendaklah ia memelihara, memuliakan dan memberikan sesuatu
kepada para ahli agama yang mengembara. Bila anaknya ternyata tidak menjadi
orang alim, tentu cucunya yang kana menjadi orang alim.”
Salah satu cara menghormati guru adalah
tidak kencang berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, tidak memulai
percakapan dengannya kecuali atas izinnya, tidak memperbanyak omongan di
sisinya, tidak menanyakan sesuatu ketika ia sudah bosan, menjaga waktu dan
tidak mengetuk rumah atau kamarnya, tetapi harus menunggu sampai keluar.
Kesimpulannya, seorang murid harus berusaha mendapat ridhanya, menghindari
kemurkaannya dan patuh kepadanya selain dalam perbuatan maksiat kepada Allah
SWT sebab tidak boleh patuh kepada mahluk untuk melakukan perbuatan maksiat
kepada Pencipta.
Juga salah satu menghormati guru adalah
menghormati anak-anaknya dan orang yang mempunyai hubungan dengannya. Gru kami
Syaikhal Islam Burhanuddin Shahibul Hidayah pernah bercerita, bahwa seorang
ulama besar dari Bukhara sedang duduk dalam suatu majelis pengajian, sesekali
ia berdiri dan duduk lagi. Ketika ditanyakan kepadanya mengenai sikapnya ieu,
ia menjawab: “Sesungguhnya putra guruku sedang bermain bersama anak-anak lain
di halaman rumah, setiap kali aku melihatnya, aku berdiri sebagai penghormatana
pada guruku.”
Hakim Agung Fahruddin Al Arsabandi,
seorang pemimpin para imam di Marwa sangat dihormati oleh sultan (raja), ia
berkata: “Saya dapat merasakan kedudukan ini karena berkah hormat saya kepada
guru. Saya melayani guru saya, yaitu Abu Yaizid Dabusi. Saa memasak makanan
untuk berlian dan saya tidak ikut memakannya.”
Syekh Al Imam Al AJjal Syamsul Aimmah
Al Khulwani terpaksa keluar dari Bukhara dan pindah ke suatu desa karena suatu
peristiwa yang menimpanya. Murid-muridnya mengunjungi kecuali Syekh AL Imam Al
Qadhi Abu Bakar Az Zagauni, saat mereka bertemu. Imam Al Khulwani bertanya:
“Mengapa kamu tidak mengunjungiku?” Syekh Abu Bakar menjawab: “Saya sangat
sibuk melayani ibu saya.” Al Khalwani kemudian berkata: “Kamu akan dapat
karunia umur panjang, tetapi kamu tidak akan mendapat anugerah nikmatnya
belajar.” Ternyata hal itu memang terbukti Syekh Abu Bakar lebih banyak tinggal
di desa dan tidak teratur dalam belajar.
Maka barangsiapa membuat sakit hati
gurunya, maka ia tidak akan mendapat berkah ilmu dan tidak dapat memanfaatkan
ilmunya kecuali hanya sedikit, sebuah syair mengungkapkan:
-
Sesungguhnya guru dan dokter tidak akan berguna nasehatnya bila tidak dihormati
-
Bersabarlah dengan penyakitmu bila kamu menentang dokter. Dan bersabarlah kamu
dengan kebodohanmu bila kamu menentang guru.
Dikisahkan bahwa khalifah Harun Al
Rasyid mengutus putranya kepada Al Ashma’I diajarkan ilmu dan tata karma. Pada
suatu hari Khalifah melihat Al Ashma’u berwudlu dan membasuh kakinya, sementara
putra khalifah menyiram air pada kakinya, khalifah pun menegur pada Al Ashma’I,
katanya: “Saya mengutus kepadamu agar kamu mengajarkan ilmu dan tata karma
kepadanya, mengapa kamu tidak menyuruh menyiram air dengan salah satu tangannya
dan membasuh kakinya dengan tangan yang lainnya?”
3. Memuliakan kitab
Salah satu cara menghormati ilmu adalah
memuliakan kitab. Pelajar sebaiknya tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan
suci dari hadas. Dikisahkan dari Syekh Al Khulwani, ia berkata: “Sesungguhnya
aku dapat memperoleh ilmu hanya dengan mengagungkannya, aku tidka meraih kertas
pelajaranku kecuali dalam keadaan suci.”
Syekh Asy Syarkasyi suatu malam
mengulang pelajarannya dalam kondisi perut sakit. Naka terpaksa ia berwudlu
tujuh belas kali malam itu, karena ia tidak mau mengulang pelajarannya kecuali
dalam keadaan suci. Hal ini dilakukannya karena ilmu adalah cahaya dan wudlu
juga cahaya dengan demikian cahaya ilmu akan semakin cemerlang dengan adanya
wudlu.
Salah satu sikap memuliakan kitab
adalah tidak menelonjorkan kaki kea rah kitab. Letakkanlah kitab tafsir di atas
kitab-kitab yang lain, dan tidak meletakkan sesuatu di atas kitab. Guru kami
Burhanudddin menuturkan cerita dari seorang guru, bahwa seorang ahli fiqih
meletakkan botol tinta di atas kitab, maka dikatakannya kepadanya: “Tidak
bermanfaat ilmumu.”
Tetapi guru kita Hakim Agung Fakhrul
Islam terkenal dengan nama Qadhi Khan berpendapat, bahwa hal itu bila tidak
dimaksudkan untuk apa-apa, tetapi lebih baik tindakan itu dihindari.
Juga termasuk memuliakan kitab adalah
menulis dengan baik, jelas dan tidak kabur. Tidak membuat catatan pinggir yang
mengaburkan kitab, kecuali dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Hanifah pernah
melihat seorang yang menulis kabur (semrawut/tidak jelas), maka ia berkata:
“Jangan membuat tulisan tidak jelas, sebab bila kamu hidup berumur panjang,
maka kamu akan menyesal, dan bila kamu meninggal maka kamu akan tercela.”
Maksudnya bila kamu semakin tua dan penglihatanmu sudah semakin rabun, maka
kamu akan menyesali tindakanmu itu. dikisahkan dari Syekh Imam Muhammad
Majduddin Ash Sharhaki, bahwa ia berkata: “Saya menyesal karena menulis tidak
jelas, telah mencatat terlalu ringkas dan tidak membandingkan kitabku dengan
kitab yang lain.” Sebaiknya bentuk kitab itu persegi empat simetris. Karena
untuk kitab ala Abu Hanifah itu lebih muudah diangkat, diletakkan dan
dipelajari. Hindari warna merah dalam kitab. Wana itu merupakan ciri para
filosof bukan cirri ulama shalih. Banyak di antara para guru kita yang tidak suka
memakai kendaraan yang berwarna merah.
E. Kesungguhan , kontinu dan cita-cita
luhur
- Kesungguhan dan kerja keras
Merupakan suatu keharusan bagi seorang
pelajar untuk bersungguh-sungguh, kontinu, dan tidak kenal berhenti dalam
belajar, hal itu telah diisyaratkan dalam firman Allah SWT: “Dan orang-orang
yang berjihad (mencari keridhaan). Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan kami, dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69).
Diungkapkan: “Barangsiapa
bersungguh-sungguh mencari sesuatu, niscaya akan menemukannya seseorang akan
mendapatkan sesuatu yang dicarinya, sejauh usaha yang dilakukannya. Dalam
menuntut ilmu dibutuhkan kesungguhan hati tiga pihak, yaitu pelajar, guru dan
ayah bila ia masih hidup.”
Syekh Al Imam Al Ajjal Ustadz
Sadiduddin mendendangkan syair gubahan Imam Syafi’I untukku:
-
Kesungguhan akan mendapatkan sesuatu yang jauh dan membukakan pintu yang
terkunci
-
Hak Allah yang paling utama bagi mahluknya adalah orang yang bercita-cita
tinggi justru diuji dengan hidup yang sempit.
-
Kau idam-idamkan menjadi ahli fiqih yang ahli menganalisa tanpa mau bersusah
payah. Memang kegiatan itu beraneka ragam bentuknya.
-
Harta benda saja takkan kau dapatkan tanpa susah payah apalagi dengan ilmu!
Abu Thayyib berkata: “Saya tidak
melihat di antara aib-aib manusia sebuah cela yang lebih besar sebagaimana
kekurangan orang-orang yang sebenarnya mampu, tetapi tidak dapat melakukan
sesuatu dengan sempurna.
Adalah suatu keharusan bagi pelajar
untuk berjaga pada malam hari sebagaimana diungkapkan oleh seorang penyair:
-
Keluhuran derajat akan dicapai sebatas usaha yang dilakukan. Barangsiapa
mengaharapkan kemuliaan maka ia harus mau berjaga pada malam hari.
-
Kau ingin mendapatkan kemuliaan tetapi kau terlelap di malam hari, padahal
orang yang mencari mutiara, ia harus menyelami lautan
-
Derajat yang tinggi harus dengan kemauan yang tinggi pula. Dan kemuliaan
seseorang tergantung ada keterjagaannya di malam hari
-
Ya Tuhan kutinggalkan tidur di malam hari untuk mendapat ridha-Mu, wahai Tuhan
bagi segala tuan.
-
Barangsiapa bercita-cita tinggi tanpa mau bersusah payah sama dengan mengulur
umur dalam meraih sesuatu yang mustahil
-
Maak tolonglah aku untuk mendapatkan ilmu dan sampaikan aku pada puncak
keluhuran
-
Jadikanlah malam sebagai kendaraanmu untuk mendapatkan cita-citamu.
Saya juga menggubah syair yang senada
dengan syair-syair di atas:
-
Barangsiapa menghendaki untuk mendapatkan cita-citanya, maka jadikanlah malam
sebagai saranya
-
Kurangkanlah makan agar kamu dapat terjaga di waktu malam. Kalau itu semua
dapat kamu lakukan, niscaya kamu dapat mencapai kesempurnaan
-
Baransiapa membiarkan dirinya terjaga di malam hari, hatinya akan ceria di
malam hari
2. Kontinu dan tidak memaksa diri
Adalah suatu keharusan bagi pelajar
untuk kantinu atau rutin dalam belajar serta mengulangi setiap awal dan akhir
malam, karena antara waktu maghrib dan isya’ serta waktu sahur adalah waktu
yang penuh berkah. Kata seorang penyair:
-
Wahai pelajar, bergaullah dengan orang-orang yang warak. Hindari banyak tidur
dan kekenyangan
-
Rutinlah belajar jangan sampai meninggalkannya. Dengan belajar ilmu akan
tertanam dan berkembang.
Ambillah kesempatan pada masa awal
remaja sebagaimana dikatakan oleh syair:
-
Kamu akan dianugerahi apa yang menjadi angan-anganmu sebesar udahamu.
Barangsiapa yang menggunakan cita-cita luhur, maka ia harus terjaga di malam
hari
-
Raihlah kesempatan di waktu muda, karena masa itu tidak akan lama
Ia juga tidak boleh memaksa diri
sendiri dan membebani terlalu berat sehingga menjadi lemah dan tidak mampu
melakukan sesuatu. Tetapi ia harus memperlakukan diri sendiri dengan santun,
karena sikap santun merupakan modal yang besar dalam meraih segala sesuatu.
Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah, bahwa agama Islam itu kokoh, maka
perhatikanlah dirimu dalam menjalankan agama dan jangan kau menyakiti dirimu
dalam menjalankan agama dan jangan kau menyakiti dirimu sendiri dalam beribadah
kepada Allah, karena orang yang lemah tidak mampu melintasi dunia dan tidak
mempunyai sarana yang utuh.” Sabdanya lagi: “Dirimu adalah kendaraanmu, maka
kasihanilah ia.”…
3. Cita-cita luhur
Seorang pelajar harus memiliki
cita-cita yang luhur dalam berilmu. Karena sesungguhnya seseorang akan terbang
dengan cita-citanya sebagaimana burung terbang dengan dua sayapnya. Abu Thayyib
berkata:
-
Cita-cita akan tercapai sejauh orang-orang akan bercita-cita. Kemuliaan akan
tercapai sejauh seseorang berbuat mulia.
-
Sesuatu yang kecil akan tampak besar bagi orang-orang yang bercita-cita kecil.
Dan sesuatu yang besar akan tampak kecil bagi orang-orang yang bercita-cita
besar.
Modal untuk mencapai segala sesuatu
adalah kerja keras dan cita-cita luhur. Seseorang yang bercita-cita
menghafalkan kitab-kitab Muhammad Bin Hasan misalnya, dengan disertai kerja
keras dan kontinuitas, maka secara lahir ia tentu dapat menghafalkan sebagian
besarnya, atau paling tidak setengahnya. Adapun orang-orang yang cita-cita
tinggi, tetapi tidak memiliki kesungguhan atau memiliki kesungguhan tetapi
tidak memiliki cita-cita tinggi, maka ia tidak akan mendapatkan ilmu kecuali
hanya sedikit.
Dalam kirab Makarimul Akhlak, Imam an
Naisaburi menuturkan bahwa ketika Raja Dzul Qurnain hendak menaklukan negeri
timur dan barat, ia bermusyawarah dengan para bijak bestari, katanya:
“Bagaimana, aku akan pergi untuk meraih kekuasaan kerajaan ini, sementara dunia
ini hanya kecil, akan binasa dan kekuasaan adalah hina.” Berangkatlah untuk
meraih kebesaran dunia dan akhirat.” Kemudian raja Dzul Qurnain berkata: “Nah,
ini berarti sesuatu yang baik.”
Rasulullah bersabda: “Allah menyukai
perkara yang luhur dan membenci perkara yang hina.”
Diungkapkan dalam sebuah syair:
-
Janganlah engkau tergesa-gesa dalam menghadapi masalahmu, tetapi biarkanlah
dulu. Tak ada yang dapat diluruskan tongkatmu seperti sediakala.
Diungkapkan pula, bahwa Abu Hanifah
pernah berkata kepada Abu Yusuf: “Kamu bukanlah orang yang cerdas, tetapi kamu
bisa mengatasinya dengan rajin belajar. Hindarilah kemalasan, karena kemalasan
adalah sesuatu yang buruk dan akibat buruknya juga sangat besar.”
Syekh Abu Nasr Ash Shaffar Al Anshari
bersyair:
-
Wahai jiwa, janganlah kau bermalas-malasan dalam berbuat taat, keadilan, dan
kebaikan
-
Siapapun yang berbuat baik, pastikan mendapatkan keuntungan sedangkan orang
yang malas pasti akan mendapatkan bencana dan kesukaran
-
Wahai jiwaku, tinggalkan kemalasan dan penundaan masalah. Sebab, jika tidak,
maka kau jatuhkan aku dalam kehinaan
-
Tak pernah kulihat sesuatu yang dapat diraih bagi pemalas kecuali penyesalan
dan cita-cita yang tak terwujud
-
Banyak perasaan malu, lemah dan sesal manusia lahir dari kemalasan
-
Hindarilah rasa malas untuk membahas sesuatu yang belum jelas dengan alasan
sudah tahu atau masih ragu
Adapun ungkapan rasa mala situ
disebabkan oleh kurangnya penghayatan terhadap keutamaan dan kelebihan ilmu.
Etika
ETIKA
MENUNTUT ILMU PENGETAHUAN
Rajin
rajinlah belajar. Pergunakanlah kesempatan kita untuk mencari persoalan yang
kiranya penting dan berguna.
Sebelum
kita menerima pelajaran, dari guru kita di meja pelajaran, alangkah baiknya
kita pelajari terlebih dulu secara mendalam. Jika kita menemukan kejanggalan,
janganlah kita enggan menanyakannya kepada teman-teman kita, agar mereka juga
ikut memecahkannya. Janganlah kita beralih kepada persoalan pertama. Jika guru
menempatkan kita pada tempat duduk yang telah ditunjuknya, janganlah kita
pindah ketempat yang lain. Dan apabila ada teman yang menempati tempat duduk
kita, maka janganlah kita lawan atau kamu caci maki. Akan tetapi bertahukanlah
kepada guru kita, agar beliau yang menunjuk tempat mana yang harus kita duduki
sesuai dengan pilihan guru kita. Jika guru sedang menerangkan pelajaran,
janganlah kita berbicara dan bertengkar dengan teman teman kita. Dengarkan
baik-baik keterangannya itu. Jangan melamun atau pikiranmu justru
melayang-layang di waktu belajar. Bila ternyata kita belum faham, mintalah
dengan hormat kepada guru kita agar berkenan mengulangi lagi keterangan yang
telah disampaikan. Dan janganlah sekali-kali membantah, jika guru kita tidak
menuruti permintaan itu, karena ada suatu pertimbangan. Ketahuilah bahwa jika
seorang murid sudah keluar dari batas-batas kesopnan, maka jatuhnya harga diri
di mata gurunya itu dan juga di mata rekan-rekannya. Oleh sebab itu, sudah
sepatutnyalah jika guru menegur dan memberi peringatan terhadap kekurang
sopanan kita. Jika kita tidak mau menghormati guru kita sebagaimana kita
menghormati ibu bapak kita, pasti kita tidak akan mungkin dapat mengambil
pelajaran darinya.
Keindahan ilmu itu harus dibarengi dengan sopan santun dan adab. Barang siapa
yang mau bersopan santun, pasti akan dimuliakan Allah SWT dan dicintai oleh
masyarakat. Demikian pula sebaliknya, barang siapa yang bersikap sombong dan
tidak punya kesopanan, pasti akan dibenci masyarakat, dan pasti tidak ada seorang
pun yang menghormatinya.
Tiada sesuatu yang amat membahayakan seorang murid, melainkan kemurkaan guru
dan ulama. Karena itu, kita jangan sekali kali membuat kemurkaan guru kita atau
berlaku tidak sopan terhadap guru kita. Sebab kemarahan guru itu, setidak-tidaknya
akan membawa diri kita ke jurang kenistaan. Terimalah nasihat orang tua,
usahakanlah agar guru kita rida dan simpati kepada kita. Mohonlah doa restunya,
agar kita memperoleh taufik dan petunjuk. Mudah-mudahan Allah SWT akan
mengabulkannya. Jika kita sedang dalam keadaan sendirian, perbanyaklah berdoa
dan mohonlah kepada Allah SWT supaya kita dikaruniai ilmu yang bermanfaat dan
berkah. Sesungguhnya Allah SWT adalah zat yang maha pemurah dan maha
mengabulkan permohonan segenap hamba-Nya.
Manajemen Dakwah Muhammadiyah Dan Nu
MUHAMMADIYAH dan NU merupakan dua organisasi terbesar yang ada di negeri ini.
Pengaruh dari kedua organisasi ini amat terasa di tengah masyarakat, meski
berbeda massanya. Dakwah bil lisan maupun bil hal yang menjadi ciri khas kedua
ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya diketahui masyarakat, bukan saja di
dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Orang-orang yang pernah terlibat
dalam kedua ormas keagamaan ini juga sudah sangat lazim, baik yang duduk dalam
birokrasi pemerintahan maupun yang aktif dalam dunia pendidikan (formal maupun
nonformal). Dengan tingkat popularitas yang demikian tinggi, tidak heran bila
sampai sekarang kedua organisasi keagamaan ini tetapi menjadi semacam
"tempat bernaung" orang-orang Islam yang ingin terlibat dalam
kegiatan sosial keagamaan (dakwah amar ma'ruf nahi munkar) sebagai bagian tak
terpisahkan dari seluruh aktivitas keagamaan.
Sebagai
organisasi terbesar di negeri ini, ternyata antara Muhammadiyah-NU memiliki
beberapa perbedaan mendasar, bukan dalam teologi atau visi politik, tetapi
perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan
infrastuktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi Islam
terbesar di Indonesia kurang berimbang. Tulisan ini tidak bermaksud mengurai
perbedaan-perbedaan teologis, maupun politis, tetapi difokuskan pada perbedaan
yang bersifat sosial (umum) namun berkait pada hal-hal yang bersifat khusus dan
berkepanjangan (paling tidak sampai sekarang) saat Abdurrahman Wahid, mantan
Ketua PB NU, menjadi orang nomor satu. Perbedaan-perbedaan
yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok,
menjadikan kedua organisasi Islam terbesar jaraknya terlalu lebar. Akibatnya,
tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan.
Beberapa jarak perbedaan Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan tahun 1912
di Yogyakarta, sejak awal menjadi organisasi Islam bercorak modern, dalam arti
dikelola secara manejemen modern. Karena itu, hampir bisa dipastikan lebih
mengutamakan cara-cara rasional, perhitungan kualitas ketimbang kuantitas,
beranggotakan orang-orang di perkotaan, mungkin lebih tepat dikatakan kelas
menengah Muslim kota, para birokrat, pengusaha, dan pegawai negeri (sipil
maupun militer). Penelitian banyak mengemukakan,
Muhammadiyah identik organisasi Islam yang mencontoh gerakan misi dan zending
Barat (James Peacock, 1981; Mitsuo Nakamura, 1980; Lance Castles, 1982; Alfian,
1984). Berhubung Muhammadiyah mencontoh gerakan misi dan zending Barat. Maka menurut
para pengamat, gerakan-gerakan yang dilakukan merupakan gerakan bercorak Barat,
seperti mendirikan sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit.
Meski
penelitian itu telah berlangsung lama, namun beberapa identifikasi yang
dilakukan tidak seluruhnya salah. Untuk beberapa contoh masih cukup relevan dan
signifikan, seperti dalam gerakan pendidikan, pembangunan rumah sakit, dan
pembangunan panti asuhan bagi orang jompo dan anak-anak yatim. Hal ini juga
yang menyebabkan Muhammadiyah pernah dikatakan sebagai organisasi duplikasi
dari protestantisme karena mengambil spirit etika Protestan. Sebagai organisasi yang dikelola secara modern, Muhammadiyah
terlihat dan mencerminkan ada keteraturan dalam administrasi. Hal ini
diwujudkan dalam pemberlakuan Nomor Baku Muhammadiyah (disingkat NBM dari
tingkat Ranting sampai Pusat), pendataan seluruh amal usaha seperti sekolah,
dari SD sampai perguruan tinggi yang menurut data terakhir berjumlah sekitar
15.000 perguruan/lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah, pembangunan
rumah sakit dan panti asuhan. Pendataan
yang rapi menjadikan Muhammadiyah terlihat jelas berapa "kekayaan"
yang dimiliki organisasi, bukan perorangan. Dengan pendataan yang rapi,
memudahkan organisasi saat mengontrol ketidakjelasan sepak terjang pengelolanya. Bermodal pendataan yang ketat, membuat organisasi ini amat
"kaku" dan formalistik karena hampir seluruh urusan harus melalui
birokrasi cukup rumit dan melelahkan karena harus ada kesepakatan dari tingkat
ranting sampai pusat. Hal seperti ini kadang mengakibatkan transformasi
pemikiran dari orang-orang yang amat kritis dalam wacana keagamaan (seperti M
Amin Abdullah, A Syafii Maarif, dan A Munir Mulkhan) menjadi terhambat.
Akibatnya, orang-orang ini akhirnya "bergerak" di luar jalur Muhammadiyah
karena jika memakai jalur Muhammadiyah akan ditolak.
Berubah
Anggota
Muhammadiyah dulu pernah didominasi birokrat dan penguasa. Kategori ini bisa
dibenarkan untuk dekade 1980-an sampai 1990-an. Namun, untuk dekade pertengahan
tahun 1990-an sampai sekarang, telah ada banyak perubahan. Akibatnya,
kategorisasi pengikut Muhammadiyah adalah pengusaha dan birokrat, tidak lagi
signifikan. Dalam hal ini, A Munir Mulkhan dan Musa Asy'arie pernah menyatakan,
keanggotaan Muhammadiyah kini telah bercampur, tidak lagi pengusaha, birokrat,
maupun pegawai negeri. Hal ini karena Muhammadiyah telah merambah desa-desa
terpencil, petani menjadi penduduk mayoritas dan aktif sebagai pengurus.
Sedangkan pegawai negeri di desa-desa langka. Kalaupun ada, mereka tidak banyak
tertarik Muhammadiyah. Pendek kata, anggota Muhammadiyah telah mengalami
perubahan dari birokrat dan pengusaha ke petani. (Mulkhan, 2000; Asy'arie,
1998). Mengingat Muhammadiyah amat concern dengan pendidikan (formal),
tidak heran jika banyak anggotanya mengenyam pendidikan sampai perguruan
tinggi. Ini terjadi bukan hanya di lingkungan Muhammadiyah, tetapi
non-Muhammadiyah, bahkan di luar negeri. Imbas yang didapat dari sini,
Muhammadiyah akhirnya memiliki banyak "intelektual" yang ahli dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan Muhammadiyah seperti A Syafii Maarif,
M Amin Abdullah, A Munir Mulkhan (ahli ilmu-ilmu keagamaan). Sedangkan orang
seperti Amien Rais, A Yahya Muhaimin, Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy, M Syafii
Anwar ahli dalam ilmu politik. M Dawam Rahardjo, M Amin Aziz, pakar ekonomi,
sedangkan A Malik Fadjar ahli dalam manajemen dan keagamaan. Toha Muhaimin,
Sugiat adalah dokter.
Tradisional
Sementara itu, sejak didirikan KH Hasyim Asy'ari tahun 1926, NU dikategorikan
banyak pengamat sebagai gerakan Islam "tradisional", memiliki jamaah
di desa-desa, berprofesi sebagai petani, berpendidikan rendah,
"sarungan" sebagai pakaian khas, dan tidak dikelola secara modern. Sebagai organisasi Islam yang dikesankan "tradisional",
NU mau tidak mau harus menerima semacam "penghakiman" bila warga
nahdliyin itu ndeso, bodoh, kumal, acak-acakan, tidak aturan serta serba
mistis. Mengapa warga nahdliyin condong lebih menyukai hal-hal mistik? Hal ini
karena tidak secara maksimal menggunakan rasio, dalam mengamati terjadinya
perubahan-perubahan di dunia. Warga nahdliyin cenderung menyerahkan pada
hal-hal gaib, seperti percaya pada wangsit, wahyu, barakah, dan karamah.
Hal-hal semacam itu, di kalangan Muhammadiyah, nyaris diharamkan.
Mengingat tidak dikelola secara modern, NU bukan saja mengalami kebangkrutan
dalam manajemen, tetapi sistem organisasinya tidak tertata maksimal. Tidak ada
pendataan rapi tentang jumlah amal usaha yang dimiliki, seperti sekolah, rumah
sakit, dan panti asuhan. Ditambah lagi tidak terdeteksinya jumlah dan siapa
"intelektual" dari nahdliyin yang mereka miliki. Memang, belakangan
muncul intelektual-intelektual dari NU yang amat progresif, terutama dalam
wacana keagamaan, baik dari kalangan muda maupun tua. Beberapa orang bisa disebutkan,
seperti Masdar F Mas'udi, Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Baso, Syafiq Hasyim, M
Fajrul Falaakh, yang bisa dibilang merepresentasikan generasi muda. Sementara
orang seperti Said Agil Hussein Al Munawar, Said Agil Siradj, Hasyim Muzadi, M
Ali Haedar, Masykuri Abdillah, dan Machasin merupakan representasi generasi
tua.
Memang, NU tidak banyak memiliki sekolah (formal) sebagaimana Muhammadiyah
karena tampaknya lebih berkosentrasi dalam dunia pesantren, terutama pesantren
salafiyah, sebuah pesantren yang mengikuti tradisi-tradisi yang sangat lama
(era sahabat Nabi), dengan pengkhususan dalam hal ilmu-ilmu agama, seperti Al
Quran, bahasa Arab, dan fikih. Dalam hal ini, NU bisa dibilang
"gudangnya" para winasis agama.
Dalam
wilayah birokrasi, NU jauh "tertinggal" dibanding Muhammadiyah. Jika
Muhammadiyah memiliki "orang" hampir di seluruh jajaran birokrasi
pemerintahan (sampai era Habibie), maka "orang" NU bisa dihitung
dengan jari tangan, itu pun tidak tinggi-tinggi, dan tidak bisa menularkan
"rembesan" kepada warganya. Seorang ilmuwan NU, Machasin, pernah
menyatakan, di kalangan NU tidak terjadi "pemerataan" kue kekuasaan
karena jika ada birokrasi dari kalangan NU, dia tidak terbiasa memberikan
"aliran rizki" kepada sesamanya, tetapi hanya untuk kepentingan sendiri
dan keluarganya, meski sebenarnya organisasi membutuhkan bantuannya. Berbeda,
dengan Muhammadiyah. Di kalangan
Muhammadiyah, semangat solidaritas organisasi amat tinggi dan berjalan baik,
sehingga jika ada orang Muhammadiyah menjadi birokrat, maka dia akan mencari
dulu orang Muhammadiyah, tidak harus dari keluarganya, tetapi yang penting satu
organisasi. Dari sana berakibat adanya pemerataan jabatan atau "aliran
rizki" yang didapat dari kekuasaannya. Mempersempit jarak Dari
perbandingan itu, untuk mempersempit jarak Muhammadiyah-NU, ada beberapa hal
yang perlu dikemukakan.
Pertama, bagaimana pada saat ini, saat Abdurrahman Wahid sebagai presiden,
warga NU menyadari untuk "memanfaatkan" kesempatan mengorganisir
kembali NU sehingga mengarah pada organisasi modern, minimal merapatkan barisan
agar sama dengan Muhammadiyah pada saat awal berdirinya. Warga NU tidak perlu
tergesa-gesa menyaingi Muhammadiyah, dengan penampilan mewah, tetapi sesaat dan
sekarang.
Kedua, warga NU yang telah lama terlibat kekuasaan, birokrasi, maupun
jabatan-jabatan penting lain, secara suka rela "mengulurkan
tangannya" kepada sesama jamaah NU yang benar-benar membutuhkan, bukan
hanya di lingkaran keluarga, atau saudara-saudaranya.
Ketiga, jika pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid bertahan hingga 2004, maka
bila kiai-kiai mendapat sumbangan dana pemerintah, janganlah dimanfaatkan untuk
inner ciycle keluarga kiai dan gus-gus saja, tetapi diserahkan kepada pesantren
dan lembaga-lembaga NU lainnya dalam rangka peningkatan SDM di masa datang.
Tetapi, bila Presiden Wahid harus turun sebelum 2004, warga nahdliyin tidak
perlu berkecil hati untuk mendapat bantuan pemerintah.
Keempat,
warga NU harus sabar dan konsisten melakukan kritik ke dalam, sebagai upaya
perbaikan banyak hal (baca: manajemen, pendidikan, ekonomi, dan amal usaha)
sehingga dapat tampil lebih perfect dan self confidence.
Sementara
itu, warga Muhammadiyah juga harus berlaku sabar dan adil terhadap warga
nahdliyin untuk bebenah diri, jangan senantiasa diolok-olok, dicaci, apalagi
dikuyo-kuyo, seperti para elite politik saling menelikung sesama. Perlakuan
terhadap Abdurrahman Wahid oleh DPR/ MPR tidak boleh terjadi antara warga
Muhammadiyah terhadap NU. Di sinilah, sebenarnya rekonsiliasi dua ormas Islam
terbesar di Indonesia telah dimulai dengan sesungguhnya.
* Zuly Qodir, alumnus PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta; anggota Muhammadiyah
Cabang Banjarnegara; peneliti institut Interfidei DIAN/Interfidei Yogyakart
Bki
B.Sejarah
Berdirinya Bimbingan Konseling Di Indonesia
Sejarah
lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya
Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting
sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu
hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang
kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan
berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan
dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP
Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui
proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola
Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya
Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan
dan Penyuluhan. Tahun 1978 diselenggarakan
program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3)
untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat
itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai
diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan
Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya
SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam
lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut
ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di
sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran
awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai
tujuan pendidikan mereka.Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan
di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid
berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP
identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah
oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti
bermasalah atau ada masalah.
Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di
sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK
Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan
diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru
Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah
mulai jelas.
Daftar
Pustaka
Fakih Ainur Rahim.
2001. Bimingan dan konseling dalam Islam, Jogjakarta;UII Pres
Gunawan Yusuf. 2001. pengantar bimbingan Konseling, Jakarta;Gramedi pustaka
utama.
Surya Muhammad,2003. Psikologi Konseling, Bandung;Pustaka Bani Quraisy
Latipun. 2006. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press
oleh